Waktu menunjukkan pukul 14.15 ketika rombongan Daulat Budaya Nusantara tiba di Goa Selomangleng, Kediri Jawa Timur. Ini adalah persiapan ritus spiritual terakhir sebelum Ruwatan Nusantara pertama dari rencana 9 titik lokasi ruwatan di seluruh pelosok Indonesia yang dimulai dari situs sejarah peradaban nusantara, Goa Selomangleng. Bakdo Asar, Vinajuli Sahabuddin bergegas naik ke Goa Selomangleng dengan beberapa orang spiritualis Pondok Alam Adat Budaya Nusantara Mahapatih Narotama.
Rangkaian ritus ini memang dipimpin oleh seorang perempuan, dengan salah satu tujuannya sebagai representasi dari Dewi Kilisuci, Putri Mahkota Prabu Airlangga yang memimpin Kerajaan Kahuripan. Mereka berjalan tanpa alas kaki menuju Goa Selomangleng dengan beberapa “ubo rampe” yang dibawa serta, selain dupa, kembang setaman dan kembang tujuh rupa, ada tembakau lengkap bersama pinang sekapur sirihnya. Juga beberapa linting rokok siong, campuran tembakau ampeg komplet dengan cengkeh, akar klembak dan kemenyan.
Gua ini diperkirakan dibuat pada abad 10-11 Masehi. Menurut cerita di Gua inilah petilasan (tempat tinggal yang dikeramatkan) Dewi Kilisuci. Sebenarnya Dewi adalah penerus Kerajaan Kahuripan, namun ia memilih menghabiskan sisa umurnya untuk bertapa. Tujuannya agar seluruh warga Kediri terhindar dari segala marabahaya. Sampai akhir hayatnya Dewi Kilisuci tetap menyendiri. Dari penelitian Tim Arkeologi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur yang dilakukan selama ini, selain Goa Selomangleng, juga ditemukan jejak bangunan struktur candi dengan dua anak tangga di bagian depan Goa. BPCB Jatim menengarai bangunan di depan Goa ini semacam petirtaan (tempat pemandian suci) yang diperkirakan dari era Kerajaan Kediri atau Panjalu (asal muasal kota Kediri).
Di kawasan ini, sudah dibangun museum, yang mulai dibuka pada 30 November 1991. Luasnya mencapai 6.670 meter persegi. Di Museum Airlangga ini, masyarakat dapat mempelajari 147 koleksi arkeologi dan etnografi peninggalan Kerajaan Kediri. Goa Selomangleng sudah menjadi ikon Kediri, dan dikelola oleh BPCB Jawa Timur untuk artefak artefak bersejarah, sedangkan untuk area sekitar Goa Selomangleng dikelola Dinas Pariwisata, lokasinya terletak di Jl Mastrip, Pojok, Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, di kaki Gunung Klotok atau sekitar 3,5 kilometer dari pusat kota Kediri. Perjalanan ke Goa Selomangleng bisa ditempuh menggunakan sepeda motor, maupun kendaraan roda empat.
Beberapa dupa dibakar di ruang masuk Goa Selomangleng, beberapa diantaranya di bilik bilik batu pahatan goa. Vinajuli Sahabuddin duduk bersila di petilasan yang konon menjadi tempat duduk Dewi Kilisuci bertapa, menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia, untuk mendoakan rakyat Kerajaan Kahuripan agar mendapat keselamatan. Beberapa spritualis juga duduk bersila, khusuk seperti mengikuti Dewi Kilisuci.
Menjelang azan maghrib, rangkaian ritual di Goa Selomangleng selesai. Panitia lokal bersiap menyalakan jenset untuk Ruwatan Nusantara Wayangan Semalam Suntuk dengan Lakon Wahyu Widayat yang dipimpin oleh Dalang Ruwatan Ki Sujiwo Tejo. Di tenda VIP beberapa inisiator Daulat Budaya Nusantara berkumpul, mempersiapkan diri berbuka puasa, tirakat sebelum menggelar Wayang Ruwatan di Goa Selomangleng.
Di pojok pojok area Goa Selomangleng, beberapa orang tampak duduk duduk di warung kopi, mereka mengawasi dari jauh Wayangan Ruwatan Nusantara yang digelar Rombongan Daulat Budaya Nusantara. Ada sorot mata penasaran di wajah wajah mereka, pasalnya, baru pertama kali ini di area Goa Selomangleng diadakan sebuah Pagelaran Wayang Ruwatan semalam suntuk. Sekilas, obrolan mereka ada beberapa narasi yang menjadi bahan pembicaraan, yang paling dominan adalah kekuatiran soal dampak Wayang Ruwatan, karena sampai hari ini belum pernah ada Wayangan di Goa Selomangleng.
Tepat pukul 19.30 WIB acara dibuka oleh MC, disusul do’a bersama dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tenda tenda mulai penuh, masyarakat yang sebelumnya duduk duduk di warung kopi mendekat dan mengisi kursi penonton. Paox Iben Mudhaffar naik panggung, di daulat menyampaikan orasi kebudayaan. Menurut Paox, acara Ruwatan Nusantara ini untuk menyelaraskan situasi kondisi kehidupan mulai dari fisik sampai metafisik, manusia sebagai makhluk mikro kosmos hingga makro kosmos. Dari sini masyarakat mendapat pengertian, sebab musabab diselenggarakannya Ruwatan Nusantara di Goa Selomangleng Kediri. Dalam orasinya, Paox Iben Mudhaffar membangun narasi kedalaman, dignity kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Wayangan Ruwatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, setelah Paox Iben Mudhaffar diberi kode MC soal linimasa acara, meskipun masyarakat masih asik mendengarkan dengan khidmat orasi kebudayaan yang disampaikan Paox Iben Mudhaffar. MC kemudian mempersilahkan Benny Zakaria untuk menyerahkan wayang Abimanyu sebagai lakon Wahyu Widayat kepada Ki Dalang Sujiwo Tejo yang akan Meruwat Nusantara semalam suntuk hari Selasa 26 September 2023. Dengan mengucap Bismillahirohmanirohim, Ki Dalang Sujiwo Tejo menerima lakon Abimanyu dari Benny Zakaria dan memulai pagelaran wayang ruwatan.
Lakon wahyu widayat menceritakan tentang turunnya Wahyu Widayat sebagai penentu pancer Ratu Tanah Jawa.
Abimanyu paling berhak menerima Wahyu WidayatÂ
Atas dasar proses masing-masing pada akhirnya dikisahkan bahwa Abimanyu yang paling berhak atas Wahyu Widayat dan didudukkan sebagai Pancer Ratu Tanah Jawa. Melalui pendekatan etimologi kontekstual dalam paradigma mite-ritual diperoleh kesimpulan bahawa lakon Wahyu Widayat merupakan hasil transformasi yang di idealkan masyarakatnya.
Perkembangan wayang telah mengakibatkan adanya perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi jamannya. Namun demikian dalam proses transformasi nya mengalami kontinuitas sekaligus diskontinuitas secara bersamaan. Proses kontinuitas terjadi pada penggunaan konsep-konsep dasar wayang, sedangkan proses diskontinuitas terjadi pada bentuk simbol yang digunakan.
Seperti kaidah dalam pagelaran wayang, lakon Wahyu Widayat mengikuti pakem yang sudah ditentukan Wayang Purwa. Diawali dengan Jejer atau tampilan tokoh-tokoh wayang di atas jagat dan panggung. Di ikuti Kadhatonan, Paseban Jaban, Bodholan, Jejer Sabrangan, Perang Gagal, Goro-goro, Perang Kembang, Perang Brubuh dan Tancep Kayon. Yang kesemuanya memiliki inti simbolisme dari perjuangan hidup manusia di dunia dan akhirat (kahyangan).
Wayang Ruwatan dengan Lakon Wahyu Widayat akhirnya selesai pukul 4.30 WIB. Ki Dalang Sujiwo Tejo turun dari panggung disambut masyarakat yang masih antusias menonton semalam suntuk.